Oleh Bandung Mawardi
(Bandung Mawar diPeneliti Kabut Institut Solo dan Redaktur Jurnal Kandang Esai)
Seorang lelaki suntuk membuat esai-esai kecil tentang harga sastra, sejarah ekonomi sastra, uang dalam jejak kolonialisme-modernitas, transformasi ekonomi-sosial-kultural dalam proyek menjadi
Inilah daftar pendek mengenai penggarapan tema uang dalam sastra Melayu Tionghoa: Lo Fen Koei (1903) oleh Gouw Peng Liang, Oey Se (1903) oleh Thio Tjon Boen, Dengen Duwa Cent Jadi Kaya (1920) Thio Tjin Boen, Berkahnya Malaise (1933) oleh Kwee Tek Hoay, Satu Milliun (1938) oleh Soe Lie Piet, dan lain-lain. Deretan teks sastra ini merupakan dokumen zaman.
Peka
Pencatatan mulai dilakukan untuk mengetahui wacana uang dalam sastra. Sekian teks sastra itu lumayan memberi ilustrasi tentang situasi Hindia Belanda dan persepsi orang atas pelbagai hal mengenai uang. Kisah mengejutkan muncul dalam Oey Se. Tokoh Oey Se takjub melihat bocah main layangan terbuat dari uang kertas. Hasrat uang pun tumbuh. Oey Se minta bertemu dengan bapak si bocah. Bapak ini tinggal di dalam hutan dan naif alias tidak tahu kalau kertas-kertas di keranjang itu adalah uang. Makna uang tak menyentuh nalar. Seni merayu dilancarkan untuk mendapati uang kertas dalam dua keranjang. Oey Se berhasil membeli uang itu dengan harga murah. Simaklah: ”... maka sekarang Oey Se dapat harta kira-kira kurang lebih f 5.000.000 (
Persepsi atas uang terbentuk dalam kondisi perbedaan latar kelas sosial, derajat ekonomi, dan nalar. Persamaan dan kontras ini mesti diletakkan dalam konteks zaman pada saat gerak ekonomi di Hindia Belanda memusat pada kalangan tertentu. Nalar uang ada untuk kepemilikan otoritas. Persepsi kaum miskin terhadap uang terbentuk karena nalar lapar atau nalar pertahanan hidup. Perbedaan nalar uang untuk keserakahan atau hasrat kapitalistik melampaui dari nalar uang dalam jerat kemiskinan dan ketidaksanggupan masuk dalam lingkaran ekonomi produktif. Pencatatan atas uang ini memang hampir menginsafkan atas pamrih seorang lelaki membuat proyek kecil untuk riset sastra. Lelaki itu mafhum ada tendensi untuk memperkarakan uang dalam sastra di luar Balai Pustaka atau pencapaian pengarang-pengarang Pujangga Baru. Pikat sastra Melayu Tionghoa melahirkan kesadaran tentang sensibilitas pengarang untuk memerkarakan uang secara reflektif, kritis, dan dokumentatif. Pikat ini menjadi modal untuk keluhan atas pengabaian peran sastra Melayu Tionghoa dalam penulisan sejarah (resmi atau
Nalar
Lelaki itu sengaja memilih kutipan dari Berkahnya Malaise untuk menunjukkan kepekaan pengarang sastra Melayu Tionghoa terhadap makna uang dalam suatu zaman. Simaklah alinea pembuka ini sebagai tanggapan kreatif atas situasi 1930-an: ”Yang malaise atawa economisch depressie sudah mendatengken kasangsaraan heibat pada manusia di seluruh dunia, itulah semua orang sudah tau. Bagimana besar kadukaan, kasedihan, kasusahan dan kakalutan yang ditumbulkan oleh malaise, itu pun sudah cukup banyak dituturken satiap hari, hingga sekalipun anak-anak kecil bisa mengarti bagimana heibatnya kasukeran yang manusia musti tanggung dan hadepken di ini masa lantaran malaise punya gara-gara.” Kutipan ini informatif dan kentara memiliki tendensi untuk mendedahkan fakta-fakta ekonomi, sosial, politik, dan kultural di Hindia Belanda saat malaise menimpa dunia. Makna uang menjadi menentukan dalam narasi Kwee Tek Hoay. Sastra tak sekadar bicara uang sebagai pemanis atau pelengkap. Kwee Tek Hoay justru mengantarkan pembaca untuk menelisik relasi uang dengan pelbagai lini kehidupan manusia. Garapan kritis dalam sastra memungkinkan model kritik sastra menjadi multidimensional ketika harus mengurusi uang.
Lelaki penulis esai ”Uang, Modernitas, dan Tafsir Sastra” (Kompas, 7 Maret 2010) memberi tawa kecil saat membaca esai tanggapan dari Binhad Nurrohmat dengan titel ”Mata Sastra Tak Melirik Mata Uang?” (Kompas, 14 Maret 2010). Binhad seperti mau mengoreksi tentang pernyataan ketidakpekaan pengarang di
Sumber: Kompas
Comments :
Post a Comment