Download

google_language = ‘en’

TANAH AIR: Jalan Budaya Keraton Yogyakarta

Oleh: Anton Wisnu Nugroho

Seusai azan magrib, RAy Sri Kadarjadi Yuwandjono (66) bertimpuh. Untuk beberapa menit, matanya tak berkedip. Sembilan perempuan yang membawakan Bedhaya Arjuna Wijaya dicermati. Empat pelatih lain bertimpuh mendampinginya di Pendopo Dalem Yudhonegaran, Yogyakarta. Bedhaya Arjuna Wijaya adalah tarian ciptaan Sultan Hamengku Buwono (HB) X.

Gamelan yang dimainkan 40 abdi dalem mengiringi matahari yang memerah pergi. Bau kemenyan menambah nyaman latihan ke-11 untuk peringatan ulang tahun ke-64 HB X di Bangsal Kencana, Keraton Ngayogyakarta, Sabtu (17/4). Membakar kemenyan adalah ritual awal sebelum sepasang gamelan, Kanjeng Kiai Panji (pelog) dan Kanjeng Kiai Ambar Arum (selendro) ditabuh. Selain kemenyan, setangkep pisang raja dan semangkuk kembang sekar diletakkan di antara gong. ”Untuk nuwun sewu (permisi) sebelum menabuh,” ujar Wijiono (52), abdi dalem pembakar kemenyan yang sehari-hari menarik becak. Sebelum kemenyan dibakar, penabuh gamelan dan sinden yang usianya lebih dari 50 tahun datang dari seluruh pelosok DI Yogyakarta. Meskipun berjauhan, keakraban hadir.

Semangat sama mendorong kehadiran mereka. ”Ada panggilan untuk melestarikan budaya,” ujar Joko Sutiyono (58), penabuh saron asal Bantul. Sebagai abdi dalem dengan nama Tejonoto, Joko sehari-hari menabuh gamelan di Hotel Inna Garuda bersama tujuh rekannya. Petani gurem ini sesekali juga menerima panggilan memainkan organ tunggal. Sebelum Reformasi 1998, Joko mengaku tidak harus banyak mencari ”obyekan” untuk hidup keluarganya. Rutinitasnya memberikan les gamelan di Anoman Forest Prawirotaman cukup menjamin. Muridnya adalah warga asing asal Jepang, Australia, bahkan Israel. ”Reformasi membuat Anoman Forest tutup. Orang asing tak lagi datang,” ujarnya. Namun, orang asing ada atau tidak, Joko tetap mencintai dan memainkan gamelan. Di antara abdi dalem itu, GBPH Yudhaningrat (adik HB X) bersila menabuh gendang pemberi aba-aba gerakan. Sementara gamelan diuji coba, Kadarjadi yang mengasuh Sanggar Suryokencono memanggil GKR Pembayun, GKR Condrokirono (keduanya putri HB X), dan RAy Kus Sularyani (keponakan HB X) untuk latihan khusus. Saat jeda, Condrokirono mengambil Blackberry-nya. Sularyani menghampiri putranya yang berseragam Pramuka di tiang pendopo.

Pusat budaya

Bedhaya Arjuna Wijaya adalah tarian keempat ciptaan HB X setelah Bedhaya Sang Amurwa Bumi, Bedhaya Harjuna Wiwaha, dan Bedhaya Sabdo Aji. Berbeda dengan (tari) serimpi yang ditarikan empat perempuan, bedhaya ditarikan sembilan perempuan. Sembilan melambangkan kesempurnaan, lambang kesucian, lambang sembilan lubang dalam tubuh manusia (babahan nowo songo), dan lambang gerbang Keraton Ngayogyakarta. Menurut HB X yang bernama lahir Herjuno Darpito, Arjuna adalah ksatria sejati simbol kesempurnaan manusia. Seperti Arjuna, kesempurnaannya sebagai ksatria bermuara dalam baktinya kepada rakyat, bangsa, dan negara. Penjelasan lewat tarian ini merupakan tugas Sultan sebagai khalifatullah seperti terangkum dalam gelarnya: Sampeyan Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati ing Ngalaga, Abdulrrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah. Arjuna wijaya dan tarian keraton berawal dari era Mataram Kuno (abad kesembilan) dengan pengaruh tarian tradisional India (devadasi). Nilai-nilai estetis dan filsafat yang terkandung dalam setiap tarian keraton antara lain konsentrasi (sawiji), semangat (greget), kepercayaan diri (sengguh), dan pantang mundur (ora mingkuh). Karena itu, setiap Sultan mewajibkan setiap anaknya menari.

Penciptaan Bedhaya Arjuna Wijaya dimulai seusai pentas Bedhaya Sabdo Aji (2007). Latihan Bedhaya Arjuna Wijaya dimulai pada akhir Februari 2010. Komposisi dan gerakan tanpa henti seperti banyu mili (air mengalir) mengharuskan latihan dilakukan belasan kali. ”Beberapa dari mereka baru menari setelah besar dan tidak latihan kalau tidak pentas,” ujar Siti Kisbandi Mulyono (71), pelatih dan pengurus sanggar Siswa Among Beksa. Selain penabuh gamelan, pesinden, penari, dan pelatih, sejumlah warga Jepang juga datang di Dalem Yudhonegaran. Satu di antara mereka memakai kebaya, jarik, dan fasih berbahasa Jawa. Setiap gerak penari diperhatikan. ”Sebelumnya saya belajar gamelan,” ujar Muriko (40). Terpikatnya banyak orang dalam persiapan Bedhaya Arjuna Wijaya menjadi gambaran jalan kebudayaan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang hadir sejak Pangeran Mangkubumi atau Raden Mas Sujana memakai gelar Hamengku Buwono. Sejak didirikan pada tahun 1756 di Hutan Beringan, Keraton difungsikan sebagai pusat kebudayaan (Supandjar, 1993:223). Selain komandan perang tangguh dan arsitek, HB I adalah penari yang berkontribusi besar untuk evolusi tarian Yogyakarta. HB I menciptakan gaya beksan lawung, beksan sekar medura, beksan tameng, beksan wayang, wayang wong. Beksan lawung ageng yang dibawakan delapan laki-laki dijadikan kamuflase latihan militer karena Belanda melarang Keraton membuat latihan militer. Tarian juga untuk mengolah jiwa tentara agar tidak melulu berangasan.

Para pengiring

Secara tradisional, semua tarian keraton diperuntukkan bagi kegiatan Keraton (kagungan dalem). Namun, rakyat mendapat tempat berperan, terutama setelah HB VII pada tahun 1918 mempersilakan putranya, Pangeran Suryodiningrat dan Pangeran Tejakusuma, membentuk Krida Beksa Wirama. Banyak pemuda luar Keraton mempelajari tari. Sejumlah sanggar, seperti Siswa Among Beksa, lahir. ”Rakyat saling mendukung. Kekhawatiran akan kehilangan jati diri menumbuhkan tanggung jawab bersama menjaga budaya. Abdi dalem adalah salah satu wadah untuk mereka,” ujar Yudhaningrat, Pengageng Krido Mardowo (Kepala Bidang Kesenian) Keraton yang juga Kepala Bidang Sejarah dan Kepurbakalaan Dinas Kebudayaan DIY. Meski tidak membuka lowongan, Keraton Ngayogyakarta tidak pernah kekurangan abdi dalem. Jumlah abdi dalem kini sekitar 3.000 orang. Cerita Inung (30), Seto (26), dan Mahendra Duta (17) menarik untuk disimak. Inung lahir di Padang, Sumatera Barat, dari orangtua transmigran asal Yogyakarta. Minatnya pada kuda sejak kecil menuntunnya menjadi abdi dalem pengurus dua kuda keraton. Seto (26), calon abdi dalem, karena neneknya abdi dalem urusan dapur. Ayahnya, Slamet, yang diberi nama Keraton Duto Mardowo (60), adalah penabuh gamelan Keraton. Adapun Mahendra Duta adalah siswa SMA Pangudi Luhur yang belajar tari klasik dan berniat bergabung pada grup tari Keraton. Gamelan, macapat, wayang golek, dan wayang kulit saban hari disajikan di Keraton Yogyakarta bagi wisawatan. Hari itu, dari Bangsal Srimanganti yang dipadati wisatawan terdengar alunan gamelan mengiringi empat perempuan muda menarikan serimpi. Pemuda dan mereka yang merasa terpanggil inilah yang kini dan kelak mengiringi jalan kebudayaan Keraton Ngayogyakarta menghadapi tantangan zamannya.

Sumber: Kompas.com

Comments :

0 komentar to “TANAH AIR: Jalan Budaya Keraton Yogyakarta”

Post a Comment