Download

google_language = ‘en’

Presiden: Selamatkan Bangsa dari Bahaya Terorisme; Kementerian Hukum dan HAM Menilai Sunata Berhak Bebas

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak seluruh rakyat untuk menyelamatkan negara dari bahaya terorisme. Terorisme di Indonesia juga menempatkan bangsa sendiri dan pemerintahan sendiri sebagai sasaran. Dalam keterangannya di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Senin (17/5), sebelum bertolak ke Singapura dan Malaysia, Presiden Yudhoyono mengatakan, ”Mereka, kelompok itu, bahkan mengarah untuk terus melakukan aksi terorisme, karena mereka ingin kembali untuk berdirinya sebuah negara Islam. Sesuatu yang sudah rampung dalam perjalanan sejarah kita.” Presiden menegaskan, hal itu bertentangan dengan konstitusi dan kehendak rakyat. Meskipun bukan negara Islam, Indonesia yang sebagian besar penduduknya memang memeluk agama Islam mengadopsi nilai dan hukum Islam dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara kita. ”Tetapi kalau kelompok ini ingin kembali memaksakan kehendaknya mengubah dasar negara, mengubah konstitusi kita, mengubah kerangka bernegara kita, tentu itu sesuatu yang tidak bisa diterima oleh rakyat kita,” ujarnya.

Telah sesuai ketentuan

Sementara itu, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menganggap pembebasan bersyarat dan pemberian remisi kepada Abdullah Sunata merupakan hak yang bersangkutan. Pembebasan itu juga diyakini telah sesuai ketentuan. Hal itu dikemukakan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Untung Sugiyono, Senin. Abdullah Sunata adalah narapidana terorisme yang divonis 7 tahun penjara pada 2006, tetapi sudah bebas pada 1 Maret 2009. Kini Sunata kembali menjadi buron dalam kasus terorisme karena diduga terlibat dengan pendirian kamp pelatihan bersenjata di Aceh Besar. Menurut Untung, ditambah remisi, Sunata memang telah menjalani masa pidana dua pertiga dari hukuman yang dijatuhkan (tujuh tahun) pada 1 Maret 2009. ”Semua napi berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. Itu ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005,” ujar Untung. Sebelumnya, pembebasan bersyarat Sunata dipertanyakan setidaknya oleh Noor Huda Ismail, Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian. Ia menilai pemberian pembebasan bersyarat dan remisi yang begitu mudah kepada Sunata tersebut ganjil (Kompas, 17/5).

Untung menjelaskan, Sunata mendapatkan remisi 12 bulan (terdiri dari remisi umum yang biasa diberikan pada 17 Agustus 9 bulan, remisi khusus tiga bulan). Sunata sendiri telah berada di dalam penjara (ditahan) sejak 4 Juli 2005. Sampai 1 Maret 2009 saat dibebaskan, artinya Sunata telah menjalani masa pidana selama tiga tahun tujuh bulan. Sunata divonis tujuh tahun, mendapat pengurangan hukuman 12 bulan. Apabila pengurangan hukuman itu ditambahkan pada masa pidana yang sudah dijalani (menjadi empat tahun tujuh bulan), maka dua pertiga dari tujuh tahun sudah terlewati. Ditanya mengenai pemberian remisi, Untung mengatakan bahwa ketentuan tidak melarang teroris mendapat pengurangan hukuman. Hanya memang, pemberian remisi dipersulit sejak diberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006. Khusus untuk terpidana teroris, korupsi, narkotik, kejahatan transnasional, kejahatan hak asasi manusia (HAM) berat, remisi baru diberikan setelah yang bersangkutan menjalani hukuman sepertiga dari masa pidana yang dijatuhkan pengadilan. ”Ketentuan itu tidak berlaku untuk Sunata karena mulai diberlakukan 2007. Sunata masuk (penjara) sejak 2005,” kata Untung. Ia menambahkan, ”Dari total 13.000 orang yang memperoleh pembebasan bersyarat pada 2009, hanya 86 yang didapat mengulangi kejahatannya.” Saat ini, LP sudah menangani setidaknya 400 narapidana teroris. Dari jumlah tersebut, 206 sudah mendapatkan kebebasan. Hingga saat ini belum ada satu teroris pun yang dikirim kembali ke penjara. Beberapa orang bekas napi teroris didapati meninggal saat penggerebekan.

Soal JAT

Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Edward Aritonang mengatakan, polisi belum menyatakan keterlibatan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) sebagai organisasi yang terlibat dalam pendirian kamp pelatihan bersenjata di Aceh Besar. ”Kami belum menyatakan JAT sebagai bagian dari itu. Baru pada orang per orang, tetapi kita tunggu hasil perkembangannya,” kata Edward. Dari 59 orang yang ditahan polisi dalam operasi terorisme sejak Februari hingga Mei 2010, polisi juga menahan pengurus JAT, salah satunya adalah Abdul Haris alias Haris Amir Palah yang menjabat sebagai amir wilayah Jakarta JAT. Sementara, amir markaziyah (pemimpin utama) JAT adalah Abu Bakar Ba'asyir. Haris, berdasarkan pemeriksaan polisi, tersangkut dalam soal pendanaan untuk aktivitas pelatihan militer di Aceh Besar. Sementara itu, dari Sukoharjo, Jawa Tengah, dilaporkan, Amir Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) Abu Bakar Ba'asyir mengatakan, di organisasinya memang ada penggalangan dana dari para donatur. Menurutnya, dana itu untuk keperluan jemaah menyelenggarakan kegiatan yang bersifat amar makruf nahi mungkar (menganjurkan pada kebaikan dan mencegah kemungkaran) berupa pemberantasan penyakit masyarakat. ”Penggalangan dari donatur memang ada, tetapi untuk bantuan umat dan membiayai kegiatan JAT dan tidak ada hubungannya dengan kegiatan di Aceh,” kata Ba'asyir.

Mengenai Ubeid, bekas napi terorisme yang kembali tertangkap dan menjadi tersangka kasus terorisme, Ba'asyir mengaku mengenal Ubeid saat sama-sama pernah berada di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Tentang kemungkinan ia pernah bertemu Ubeid di Pejaten setelah sama-sama lepas dari penjara, Ba'asyir mengaku tidak ingat. ”Seingat saya tidak pernah bertemu di Pejaten, tetapi saya lupa pernah bertemu atau tidak karena di sana sering bertemu banyak orang. Memang jika ada kegiatan dakwah di Jakarta, saya selalu menginap di Pejaten. Selama di penjara, yang saya tahu Ubeid rajin menerjemahkan buku berbahasa Arab,” katanya. Ba'asyir mengatakan, JAT melepaskan diri terhadap anggotanya yang terlibat terorisme. Jika ketahuan anggotanya terlibat terorisme, menurut Ba'asyir, yang bersangkutan harus keluar dari JAT. ”Kalau ada yang terlibat terorisme tidak boleh di dalam JAT karena itu urusan pribadinya,” katanya. Terkait dengan pengungkapan kejahatan terorisme, Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri, Jumat pagi, melaporkan perkembangan terakhir kepada Presiden Yudhoyono. Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha mengatakan, Presiden mengapresiasi kinerja Polri dalam menangani hal itu, tetapi Presiden juga mengharapkan Polri, khususnya Detasemen Khusus 88, terus meningkatkan kewaspadaan. (ANA/EKI/SF/DAY)

Sumber: Kompas

Comments :

0 komentar to “Presiden: Selamatkan Bangsa dari Bahaya Terorisme; Kementerian Hukum dan HAM Menilai Sunata Berhak Bebas”

Post a Comment