Download

google_language = ‘en’

UU Kesehatan Rugikan Perawat

Pengaturan kewenangan pemberian obat-obatan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan merugikan bidan-perawat serta rakyat di daerah terpencil. Sebab, sejumlah obat-obatan hanya boleh diberikan di bawah kewenangan dokter dan apoteker. Padahal, jumlah dokter di daerah terpencil terbatas. ''Seluruh perawat dan bidan di seluruh Indonesia bisa dipidana karena ini. Padahal, dalam keadaan darurat, mau tidak mau, mereka terpaksa memberikan obat-obatan tersebut karena tidak ada dokter,'' kata Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Achiryani S. Hamid dalam sidang uji materi UU Kesehatan di gedung Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin (6/5). Dalam UU Kesehatan, bidan dan perawat hanya berwenang memberikan obat bebas dan obat bebas terbatas. Dua obat itu adalah jenis obat yang memang dapat dibeli tanpa resep dokter. Penggunaan obat keras, termasuk obat keras daftar G dan psikotropika, hanya boleh diberikan oleh dokter, dokter hewan, dan apoteker. Khusus psikotropika bahkan harus berada di bawah pengawasan kepolisian. Uji materi itu bermula dari kasus pidana di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Misran, salah seorang perawat, diseret ke meja hijau gara-gara memberi pasien obat daftar G (keras). Alasannya, pasien dalam keadaan darurat. Padahal, Misran juga tak bisa membiarkan pasien itu tanpa perawatan. Sebab, dia bisa dijerat dengan pasal 190 ayat 1 UU Kesehatan yang berisi tentang penolakan menangani pasien. Direktur Jenderal Bina Kefarmasian Kementerian Kesehatan Sri Indrawati yang mewakili pemerintah mengatakan, peraturan pemberian kesehatan tak bisa dihapuskan. Sebab, itu akan menimbulkan kekosongan hukum dan kekacauan praktik tenaga medis. Bila UU Kesehatan dicabut, distribusi obat-obatan bakal berada di tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. (aga/c4/noe)

Sumber: Jawapos

Comments :

0 komentar to “UU Kesehatan Rugikan Perawat”

Post a Comment