Download

google_language = ‘en’

KRISIS INDUSTRI ROTAN; Dari Potsdam Kembali ke Rimba Raya

Oleh: Siwi Yunita dan Nasrullah Nara

Perdana Menteri Inggris Winston Churchill bersama Presiden Amerika Serikat Harry S Truman dan Sekjen Partai Komunis Uni Soviet Joseph Stalin pernah duduk bersama di atas kursi rotan dalam pertemuan di Postdam, Jerman, pasca-Perang Dunia II, tahun 1945. Saat itu selera zaman menempatkan kursi rotan sebagai produk berkelas. Sebaiknya Anda segera tahu: kursi yang mereka duduki ketika itu bahan bakunya diambil dari Sulawesi. Lebih dari 60 tahun kemudian, setelah pertemuan Potsdam itu, di sebuah desa kecil di Poso, Sulawesi Tengah, keadaan berbalik. Zen (42), pencari rotan di Poso, menggunakan batang-batang rotan sebagai galangan—semacam rakit—tempat mencuci baju di sungai. Rotan tetap jadi barang tak berarti. ”Sekarang tidak semua rotan laku. Pembeli pilih-pilih. Hanya ukuran diameter 22-24 milimeter yang laku. Ukuran lebih besar atau lebih kecil tak laku,” cerita Zen di atas tumpukan rotan di tepi Sungai Poso, dua pekan silam. Saat itu tumpukan rotannya sudah berusia seminggu. Namun, ia tetap saja tak bisa menjualnya. Rotan jenis jermasin yang lima tahun lalu bisa laku Rp 3.500 per kilogram kini tak berharga sama sekali. Tak berharganya rotan membuat keluarga Asmin di Tamesandi, Kecamatan Uepai, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, hanya menggantungkan hidup sebagai petani kakao dan padi. Padahal, bagi Asmin, rotan menjadi napas hidup karena hasil jualnya bisa mengganjal kebutuhan ekonomi pada masa paceklik. Setidaknya, keluarganya mendapatkan jaminan hidup dari para juragan rotan ketika dia pergi membabat rotan di hutan. ”Modal yang saya dapatkan biasanya Rp 1 juta. Rp 500.000 untuk kebutuhan rumah yang ditinggalkan, sisanya untuk bekal mencari rotan di hutan. Ketika masa paceklik atau saat kakao belum panen, itu membantu sekali,” cerita Asmin.

Kini usaha itu tidak ada lagi. Rotan sudah mati suri. Tidak ada juragan yang datang memintanya mencari rotan. Penggorengan atau perusahaan rotan setengah jadi di dekat rumahnya pun tutup, hanya menyisakan bangunan telantar. Kisah tentang mati surinya rotan tidak hanya ada di Poso atau di Konawe, tetapi juga di berbagai pelosok Sulawesi yang menyimpan hutan rotan terkaya di dunia. Mambi, Kabupaten, Sulawesi Barat, salah satunya. Nahar (54), tokoh warga Desa Keppe, Kecamatan Mambi, bercerita bahwa dua tahun lalu kecamatan kecil ini masih menjadi salah satu bandar penyuplai rotan untuk pasaran Eropa. Pada hari-hari tertentu, ratusan petani pencari rotan turun dari gunung memikul rotan untuk dijual di kecamatan. Rotan yang terkumpul sebanyak 30-40 ton menggunung di gudang-gudang. Setiap hari pula truk-truk pengangkut rotan berdatangan untuk membawa komoditas hutan itu ke Polewali Mandar guna diolah. Namun, dua tahun terakhir aktivitas itu berangsur sepi, bahkan kini mati, sejak permintaan rotan mentah tidak ada lagi. Warga seperti Norce (36), yang dulu pengepul rotan, kini banting setir jadi pengepul kakao. Alibaah (45), pemilik penggorengan rotan di Polewali Mandar yang biasa mengambil rotan dari Mambi, terpaksa menutup usahanya. Pengumpul rotan di gunung pun kini hanya mengelola lahan kakao mereka. Rotan Mambi pun mati suri.

Beberapa pengusaha rotan di tempat lain masih coba bertahan. Toni Lima, salah satunya. Pemilik UD Margalewa di Palu, Sulawesi Tengah, ini masih membeli rotan karena iba dan menjaga pertemanan dengan petani. Namun, kini di gudangnya menumpuk 2.000 ton rotan yang belum terserap pasar. Di Kota Palu, dari 30 usaha rotan setengah jadi, kini hanya delapan yang bertahan. Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia (APRI) Julius Hoesan menghitung, jika dulu produksi mencapai 60.000 ton rotan setengah jadi per tahun, kini hanya 6.000 ton per tahun. Sekitar 500.000 petani rotan terancam kehilangan pekerjaan. Itu belum termasuk pekerja penggorengan rotan, pekerja poles, pengemudi truk pengangkut rotan, hingga petugas keamanan perusahaan. Tak lagi bergairahnya usaha rotan di Sulawesi dipicu surutnya industri mebel rotan dalam negeri yang kalah bersaing dari mebeler China dan munculnya pengganti rotan, seperti rotan sintetis. APRI menyebutkan, akibat permintaan ekspor dunia turun, daya serap industri mebel rotan dalam negeri kini 40.00060.000 ton rotan per tahun. Padahal, potensi rotan di Sulawesi saja mencapai 690.000 ton. Dengan jumlah pasokan yang sedemikian tinggi dan minimnya penyerapan dalam negeri, rotan kini kehilangan nilai jual. Petani dan pengusaha pun tak bisa serta-merta menghabiskan stok rotan setengah jadi dengan menjual ke luar negeri karena aturan Menteri Perdagangan terbaru (2009) hanya membolehkan jumlah ekspor 50 persen dari jumlah pasok dalam negeri. Bagi Ketua APRI Sabar Nagarimba Liem, kebijakan ini lebih kejam daripada VOC. Kongsi dagang Belanda zaman penjajahan itu masih punya hati. Mereka melarang menjual kepada orang lain, tetapi menyerap semua barang dari petani. Sebaliknya, pemerintah sekarang membatasi penjualan kepada orang lain, tetapi tak mau menyerap sisanya. Kini, rotan di Potsdam hanya menjadi dokumentasi yang sering ditampilkan dalam pertemuan APRI, sekadar mencemooh betapa mundurnya negeri ini dalam membela dan menyejahterakan rakyat semesta. Karut-marutnya tata niaga rotan telah membuahkan sebuah ironi di negeri ini. Kekayaan alam yang melimpah di hutan ternyata tak bisa membawa kesejahteraan bagi rakyat dari hulu hingga hilir. (THT/REN/WER)

Sumber: Kompas

Comments :

0 komentar to “KRISIS INDUSTRI ROTAN; Dari Potsdam Kembali ke Rimba Raya”

Post a Comment