Hipotesis Ketua Jurusan Perikanan dan Kelautan Universitas Nusa Cendana Kupang Franchy Christian Liufeto, penurunan hasil tangkapan paus disebabkan oleh dua hal. Pertama, pengaruh pemanasan global yang mengakibatkan suhu permukaan air laut meningkat dan mengganggu rantai ekologi. Migrasi paus pun menurun karena keterbatasan ketersediaan makanan di kawasan perairan Lamalera. Kedua, populasi paus menurun oleh perburuan yang terus meningkat seiring makin tingginya kebutuhan nelayan yang didorong aktivitas pariwisata. Menurut keterangan Kepala Subdinas Produksi Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lembata Agustinus D Kedang, jumlah paus yang berhasil diburu tidaklah sedikit. Selama 22 tahun sekitar 475 paus yang ditangkap. Padahal, kemampuan mamah biak paus sperma tergolong lambat. Paus ini baru bisa berkembang biak setelah usia 20 tahun dan usia hidupnya sekitar 77 tahun. Kondisi ini juga yang mendorong adanya konservasi guna melindungi mamalia laut itu dari kepunahan. Mulai tahun 2008, wacana konservasi Laut Sawu sudah gencar disosialisasikan di Lembata, salah satunya oleh World Wide Fund for Nature (WWF).
Namun, program konservasi ini mendapat tentangan sebagian masyarakat. Program konservasi ini bahkan dianggap telah memicu konflik komunitas nelayan, antara yang pro dan kontra. ”Apa pun namanya, kami tetap menolak konservasi. Kalau menerima program itu, kami akan tersingkirkan. Lamalera akan mirip dengan Selandia Baru. Di
Terabaikannya ritual
Masyarakat setempat menilai, upaya konservasi itu justru memicu konflik antarkelompok yang pro dan kontra. Kedekatan LSM dengan suku tertentu melahirkan kecurigaan. Isu-isu saling menjatuhkan dan membenarkan diri berkembang tak karuan. Konflik antarkelompok ini pun pada akhirnya berdampak pada tidak bisa dilaksanakannya ritual adat dan hal ini pun dipercaya yang membuat ikan paus tak datang lagi ke Lamalera. Tuan tanah Marsianus Dua Langowujon, misalnya, mengatakan, tahun ini upacara misa Lefa, misa arwah, dan pelepasan prasso sapang tidak diawali pemberian sesaji kepada leluhur (Ie Gerek). Padahal, ritual itu sangat penting. Ritual ini dilakukan di sebuah batu paus-batu hitam besar mirip paus (Sora Tare Bala, kerbau bertanduk gading) yang terletak di Dusun Lamamanu, di puncak Gunung Labalekang, sekitar 3 kilometer dari pusat Desa Lamalera A. Seekor ayam jantan warna merah, sirih pinang, tembakau, beras merah, dan telur ayam biasanya disajikan dalam upacara itu. Gong keramat pun dibunyikan di bukit itu untuk memanggil para arwah. ”Utusan dari suku Bataona tidak datang menyampaikan berita kepada kami sehingga ritual Ie Gerek tidak dapat dilaksanakan,” kata Marsianus.
Diduga permasalahan Ie Gerek itu juga merupakan letupan akibat konflik yang dipicu wacana konservasi Laut Sawu yang digulirkan WWF. Hal itu pun diakui Marsianus. Ia dituding sebagai salah seorang yang mendukung konservasi dan telah menerima sejumlah dana dari WWF. ”Saudara lihat sendiri bagaimana kondisi rumah saya, lantainya masih tanah, dinding kayu, mewahnya di mana? Memang program konservasi itu baik, tetapi saya juga menolak kalau tradisi berburu paus dilarang,” kata Marsianus. Perwakilan WWF Kabupaten Lembata, Februanti, membantah keberadaan mereka menjadi pemicu konflik masyarakat Lamalera. ”Pengertian konservasi ditafsirkan keliru oleh masyarakat. Konservasi dianggap melarang perburuan paus.” Februanti menegaskan, perburuan paus tetap diperbolehkan, tetapi perlu dikontrol. Ketentuan internasional maupun peraturan pemerintah juga tidak melarang perburuan paus seperti di Lamalera sebab dilakukan secara tradisional untuk kebutuhan sendiri, bukan dikomersilkan ke luar pulau. ”Alternatif yang dapat dilakukan mungkin dengan pemberlakuan kuota, misal ada batas maksimal sekian ekor paus yang diperbolehkan diburu per tahunnya. Tetapi, hal itu juga perlu kajian seberapa besar rata-rata kebutuhan nelayan Lamalera. Selain itu, konservasi juga menjalankan fungsi pemberdayaan sehingga masyarakat nelayan Lamalera tidak hanya mengandalkan berburu paus, tetapi ikan lain, termasuk keterampilan lain di luar laut,” ujarnya.
Menyikapi pertikaian yang terjadi itu, Kepala Suku Bediona Abel Onekala Beding memiliki pandangan arif. Menurut dia, semua pihak yang berselisih harus duduk bersama, termasuk dari WWF. Perdamaian adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik adat ini. ”Termasuk juga orang Lamalera yang tinggal di luar daerah, seperti di
Sumber: kompas
Comments :
Post a Comment