Pendakian yang dilakukan tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia ke Puncak Carstensz Pyramid, Jayawijaya, Papua, pada pertengahan April lalu tidak hanya menyisakan asa untuk menuju enam puncak lainnya, tetapi juga harapan besar bagi penyelamatan lingkungan. Untuk itu, tim ekspedisi melontarkan seruan pada peringatan Hari Bumi, 22 April, di kawasan es Nggapulu yang berketinggian 4.700 meter di atas permukaan laut (mdpl) bahwa lingkungan telah mengalami perubahan, terutama karena pemanasan global dan perubahan iklim. Berkumpulnya pencinta alam dan aktivis lingkungan di Nggapulu mirip kampanye pemanasan global yang ditempuh Perdana Menteri Nepal Madhav Kumar dan puluhan menterinya di Kalapathar, kaki Puncak Everest, awal Desember 2009, untuk membahas mencairnya gletser (endapan es dan salju) di Everest. Jika gletser terus mencair dan hilang, kekeringan akan melanda Asia dalam beberapa dekade mendatang dan 10 sungai besar yang bersumber dari Everest akan kering. Ini menjadi ancaman besar bagi 1,3 miliar penduduk yang bergantung pada sungai-sungai itu. Perubahan ini juga terjadi pada gletser Jayawijaya yang terus menyusut dari waktu ke waktu. Salah satu anggota tim ekspedisi dari Wanadri, Iwan Irawan (38), tercengang ketika mencapai kawasan es Nggapulu yang membentang sekitar 1,5 kilometer dari puncak. ”Tahun 2004 saat saya ke sini setidaknya dua kilometer dari puncak masih ditutupi es,” kata Iwan seraya menunjukkan lokasi terakhir, tebing yang tadinya tertutup salju dan kini tinggal bebatuan.
Tak tertutup gletser
Di Pegunungan Jayawijaya terdapat beberapa puncak yang masih berselimutkan es dan salju, antara lain Puncak Nggapulu atau Soekarno, Puncak Soemantri, dan Puncak Carstensz Timur. Adapun puncak tertingginya, Carstensz Pyramid, sudah tidak lagi tertutup gletser. Berdasarkan buku Retreat of Glaciers on Puncak Jaya, Irian Jaya, determined from 2000 and 2002 IKONOS Satellite Images yang ditulis Andrew G Klein dan Joni L Kincaid, dari 20 kilometer persegi gletser yang terdapat di Jayawijaya pada tahun 1850, telah menyusut hingga 90 persen atau hanya bersisa dua kilometer persegi setelah 150 tahun berlalu. Tak heran jika Puncak Carstensz Pyramid yang berada di ketinggian 4.884 mdpl sudah tidak lagi berselimutkan es. Muhamad Gunawan, pendaki senior Wanadri yang mendaki Carstensz pada tahun 1986, mengisahkan, saat itu es masih menutupi tebing di sekitar puncak Carstensz hingga ketinggian sekitar 4.750 mdpl. Namun, ketika Gunawan berkunjung lagi pada tahun 1991, hamparan gletser telah meleleh. Hanya sebagian tebing yang masih tertutup es, sisanya tinggal bebatuan. Kemudian, tahun 1994, seluruh gletser telah menghilang dari puncak tertinggi di Indonesia ini. ”Kalaupun sekarang masih ada es yang menutupi beberapa tempat, paling bersifat sementara karena akan hilang kalau cuaca cerah,” kata Gunawan. Adanya salju di Puncak Carstensz Pyramid juga ditunjukkan oleh sebutan suku Dani bagi puncak itu, yaitu dengan nama Ndugu-Ndugu yang artinya berguguran atau berjatuhan. Ini tidak terlepas dari seringnya mereka melihat salju berguguran di puncak tersebut dulunya. Jika dilihat dari udara pada April lalu, gletser masih menghampar di ujung sisi utara (Puncak Soemantri dan Nggapulu) dan selatan Pegunungan Jayawijaya (Puncak Carstensz Timur). Namun, volume ini jauh berkurang dibandingkan pencitraan yang pernah diambil United States Geological Survey pada tahun 1936 dan 1972 yang memperlihatkan bentangan gletser menyelimuti hampir seluruh bagian puncak Jayawijaya, termasuk Cartensz Pyramid.
Fakta penyusutan gletser
Diperkuat dengan robohnya sebuah gunung es di Antartika yang menimpa gunung es pada gletser lain pada 26 Februari lalu. Kedua gunung es tersebut terjerembab ke laut dan hanyut bersama sejauh 62-93 mil atau 100-150 kilometer dari Antartika timur (Kompas, 2/3). Anggota Wanadri angkatan 1968/1969, Iwan Hignasto, menyatakan, adanya fakta penyusutan es ini diharapkan dapat memberikan kesadaran bagi masyarakat luas bahwa pemanasan global telah mengancam kehidupan manusia. Warga dunia kini cenderung beradaptasi dengan perubahan iklim, tidak lagi melakukan mitigasi. Ketua Harian Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia Yoppie Rikson mengatakan, selain bertujuan untuk menginjakkan kaki di tujuh puncak tertinggi dunia, ekspedisi ini juga mengusung misi konservasi. Menyusutnya endapan salju di berbagai belahan bumi, termasuk di puncak-puncak gunung es, merupakan bentuk nyata pemanasan global yang patut menjadi perhatian masyarakat dunia. Hal itulah yang membuat mereka terpicu untuk bergandengan tangan pada Hari Bumi di Nggapulu. Penyusutan endapan salju di beberapa kawasan, termasuk Pegunungan Jayawijaya, merupakan pertanda yang tak terbantahkan. Menjadi peringatan bahwa pemanasan global telah membuat wajah bumi berubah dan menjadikan bencana semakin dekat dengan kehidupan manusia. Banjir, kekeringan berkepanjangan, suhu bumi yang terus naik, badai, dan meningginya muka air laut pun makin kerap terjadi. (HARRY SUSILO)
Sumber; Kompas
Comments :
Post a Comment