Oleh: YUDI LATIF
Kemenangan Anas Urbaningrum dalam pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat memberi kado penghibur dalam suasana peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Kado yang memijarkan harapan di tengah lorong gelap perkembangan demokrasi di negeri ini. Dengan kemenangan itu, politik
Komitmen untuk keluar dari kungkungan elitisme politik menuju pemberdayaan rakyat penting demi menyelamatkan demokrasi. Sebab, seperti dicatat Bermeo (2003), ancaman utama terhadap negara demokrasi baru datang dari orang dalam kekuasaan, terutama politisi ”generasi tua” yang mengikuti pretensi demokratis sekadar untuk mempertahankan kekuasaannya ketimbang karena keyakinan. Pengalaman sejumlah negara menunjukkan, pihak yang bertanggung jawab atas ambruknya demokrasi bukanlah rakyat biasa, melainkan koalisi kepentingan elite politik yang bersekongkol meringkus daulat rakyat oleh semacam kartel politik. Jalan politik menuju pemberdayaan rakyat terlebih dahulu menuntut adanya proses demokratisasi dalam partai politik karena dari sini basis utama perekrutan kepemimpinan negara. Pada titik inilah titik terlemah perkembangan demokrasi kita. Pendirian partai politik yang cenderung bersifat top down, yang tidak tumbuh atas inisiatif dan aspirasi kolektif dari bawah, menjerumuskannya menjadi perkakas dari kepentingan pragmatis elite politik. Pertumbuhan partai tak sejalan dengan penataan kepartaian. Menilik ke dalam, kelemahan mendasar partai tampak dalam ketidakmampuannya merumuskan dan mengembangkan ideologi, memobilisasi dan mengelola sumber daya, mempraktikkan demokrasi internal, dan pengaderan kepemimpinan. Keluar, partai politik gagal menjalankan fungsinya: mengagregasikan aspirasi rakyat, membuat dan memperkenalkan platform perjuangan, mengatur proses pembentukan ”kehendak politik” (political will) lewat tawaran alternatif kebijakan, merekrut calon pemimpin politik, membangun komunikasi politik, serta menawarkan saluran politik yang paling efektif kepada publik. Dengan performa parpol seperti itu, kepercayaan rakyat terhadap partai terus merosot.
Perkembangan partai itu terjadi dalam suasana krisis perekonomian nasional dan global. Krisis ekonomi memiliki peran yang besar terhadap krisis demokrasi. Benar, demokrasi dan kewarganegaraan tetap bisa bertahan walaupun terjadi ketimpangan ekonomi. Dengan mengambil contoh Brasil, Bolivar Lamounier (1989) menggarisbawahi suatu sistem politik yang memberikan ruang bagi kontestasi dan partisipasi di tengah masyarakat yang terempas dalam kemiskinan serta kesenjangan sosial yang menganga dapat dikatakan sebagai suatu demokrasi yang mewujud dalam bentuk semata, tetapi hampa dalam realitas. Oleh karena itu, demokrasi yang sehat bukan saja menuntut kesetaraan politik yang lebih besar, tetapi juga meniscayakan adanya kebijakan yang kuat dan sistematik untuk mempromosikan kesetaraan sosial-ekonomi. Itu berarti, kualitas demokrasi bergantung pada demokrasi sosial-ekonomi, melalui kesinambungan kebijakan perlindungan sosial dan kekeluargaan. Proses pendalaman dan perluasan demokrasi menentukan panjang pendeknya kelangsungan demokrasi. Komitmen, stamina, dan integritas pemimpin pada pemenuhan substansi demokrasi menjadi kuncinya. Dalam jalan panjang konsolidasi demokrasi, kemenangan Anas Urbaningrum baru modal awal menuju aktualisasi daya muda. Tidak perlu dirayakan secara berlebihan.
Yudi Latif Direktur Eksekutif Reform Institute
Sumber: Kompas
Comments :
Post a Comment