Download

google_language = ‘en’

Kebangkitan Daya Muda

Oleh: YUDI LATIF

Kemenangan Anas Urbaningrum dalam pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat memberi kado penghibur dalam suasana peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Kado yang memijarkan harapan di tengah lorong gelap perkembangan demokrasi di negeri ini. Dengan kemenangan itu, politik Indonesia ditambatkan kembali pada akar kesejarahannya. Dalam awal pertumbuhan gagasan keindonesiaan, kaum mudalah yang menjadi inisiator, pemimpin, sekaligus pelaksana politik kebangsaan. Politik dalam kesadaran pemuda pergerakan ini adalah usaha resolusi atas problem kolektif melalui pemenuhan kebajikan kolektif. Mirip dengan pemahaman Aristotelian, politik dipandang sebagai seni mulia untuk meraih harapan dan memelihara kemaslahatan umum, terutama kepentingan kaum terjajah, dengan jalan menyubordinasikan kepentingan partikular pada kepentingan (kaum terjajah) secara keseluruhan. Dengan visi mempersatukan dan membebaskan, apa yang diserukan Medan Prijaji sebagai, ”bangsa jang terprentah” dengan predikat yang sama sebagai ”anak negeri di seloeroeh Hinda Olanda”, mereka menggagas komunitas imajiner baru, Indonesia. Untuk mewujudkan fantasi kebertautan ini, kaum muda mulai menjebol lingkaran elitisme kepriayian dengan menjalin komunikasi dengan massa. Dengan itu, ideologi didekatkan dengan politik akar rumput dan nasionalisme meluas dari ”nasionalisme ningrat” menuju ”nasionalisme kerakyatan”.

Alhasil, Indonesia adalah buah persetubuhan antara daya muda dan daya kerakyatan. Itulah khitah politik Indonesia. Manakala terdapat tanda-tanda terjadinya kelumpuhan dan kekaburan dalam perkembangan politik Indonesia, ada baiknya melakukan penziarahan kembali rahim jati diri. Lewat penziarahan ini, disadari perlunya memberdayakan kaum muda. Bukan hanya muda dari segi usia, melainkan kemudaan dalam arti gagasan, yang mampu menerobos kelembaman kemapanan. Ukuran atas progresivitas politik kaum muda ditentukan oleh kesanggupannya memulihkan daulat rakyat. Kepemimpinan politik tak lagi mengandalkan restu dari atas, yang berbalut nepotisme, kronisme, dan uang, melainkan dari komunikasi dengan akar rumput. Dalam kaitan itu, Bung Hatta mengingatkan, ”Menduga perasaan rakyat dan memberi jalan kepada perasaan itu ke luar, itulah kewajiban yang amat sulit dan susah. Itulah kewajiban leiderschap! Soekarno menambahkan, tugas pemimpin adalah mengobarkan spirit, tekad, dan perbuatan rakyat. Adapun besar kecilnya spirit-kemauan rakyat untuk berjuang ditentukan tiga hal. Pertama, menarik tidaknya tujuan atau cita-cita politik yang diperjuangkan pemimpin. Kedua, rasa mampu di kalangan rakyat. Ketiga, tenaga yang tersedia di kalangan rakyat sendiri. Pemimpin harus cakap melukiskan daya tarik cita-cita politiknya, mampu membangkitkan kepercayaan rakyat pada kemampuannya serta sanggup menyusun tenaga rakyat demi tujuan politik.

Komitmen untuk keluar dari kungkungan elitisme politik menuju pemberdayaan rakyat penting demi menyelamatkan demokrasi. Sebab, seperti dicatat Bermeo (2003), ancaman utama terhadap negara demokrasi baru datang dari orang dalam kekuasaan, terutama politisi ”generasi tua” yang mengikuti pretensi demokratis sekadar untuk mempertahankan kekuasaannya ketimbang karena keyakinan. Pengalaman sejumlah negara menunjukkan, pihak yang bertanggung jawab atas ambruknya demokrasi bukanlah rakyat biasa, melainkan koalisi kepentingan elite politik yang bersekongkol meringkus daulat rakyat oleh semacam kartel politik. Jalan politik menuju pemberdayaan rakyat terlebih dahulu menuntut adanya proses demokratisasi dalam partai politik karena dari sini basis utama perekrutan kepemimpinan negara. Pada titik inilah titik terlemah perkembangan demokrasi kita. Pendirian partai politik yang cenderung bersifat top down, yang tidak tumbuh atas inisiatif dan aspirasi kolektif dari bawah, menjerumuskannya menjadi perkakas dari kepentingan pragmatis elite politik. Pertumbuhan partai tak sejalan dengan penataan kepartaian. Menilik ke dalam, kelemahan mendasar partai tampak dalam ketidakmampuannya merumuskan dan mengembangkan ideologi, memobilisasi dan mengelola sumber daya, mempraktikkan demokrasi internal, dan pengaderan kepemimpinan. Keluar, partai politik gagal menjalankan fungsinya: mengagregasikan aspirasi rakyat, membuat dan memperkenalkan platform perjuangan, mengatur proses pembentukan ”kehendak politik” (political will) lewat tawaran alternatif kebijakan, merekrut calon pemimpin politik, membangun komunikasi politik, serta menawarkan saluran politik yang paling efektif kepada publik. Dengan performa parpol seperti itu, kepercayaan rakyat terhadap partai terus merosot.

Perkembangan partai itu terjadi dalam suasana krisis perekonomian nasional dan global. Krisis ekonomi memiliki peran yang besar terhadap krisis demokrasi. Benar, demokrasi dan kewarganegaraan tetap bisa bertahan walaupun terjadi ketimpangan ekonomi. Dengan mengambil contoh Brasil, Bolivar Lamounier (1989) menggarisbawahi suatu sistem politik yang memberikan ruang bagi kontestasi dan partisipasi di tengah masyarakat yang terempas dalam kemiskinan serta kesenjangan sosial yang menganga dapat dikatakan sebagai suatu demokrasi yang mewujud dalam bentuk semata, tetapi hampa dalam realitas. Oleh karena itu, demokrasi yang sehat bukan saja menuntut kesetaraan politik yang lebih besar, tetapi juga meniscayakan adanya kebijakan yang kuat dan sistematik untuk mempromosikan kesetaraan sosial-ekonomi. Itu berarti, kualitas demokrasi bergantung pada demokrasi sosial-ekonomi, melalui kesinambungan kebijakan perlindungan sosial dan kekeluargaan. Proses pendalaman dan perluasan demokrasi menentukan panjang pendeknya kelangsungan demokrasi. Komitmen, stamina, dan integritas pemimpin pada pemenuhan substansi demokrasi menjadi kuncinya. Dalam jalan panjang konsolidasi demokrasi, kemenangan Anas Urbaningrum baru modal awal menuju aktualisasi daya muda. Tidak perlu dirayakan secara berlebihan.

Yudi Latif Direktur Eksekutif Reform Institute

Sumber: Kompas

Comments :

0 komentar to “Kebangkitan Daya Muda”

Post a Comment