Download

google_language = ‘en’

Pembebasan Sunata Dianggap Ganjil

Kebijakan pemerintah memberikan pembebasan bersyarat kepada narapidana terorisme, Abdullah Sunata atau Arman Kristianto, dari penjara dianggap ganjil. Sunata pada 1 Mei 2006 divonis tujuh tahun penjara terkait terorisme. Sunata yang baru menjalani tiga tahun hukuman penjara itu bebas pada Maret 2009, bukan 2013 jika mengikuti vonis hakim. Kini polisi kembali memburunya karena menganggap Sunata sebagai buron berbahaya. Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail mempertanyakan kebijakan pembebasan bersyarat kepada Sunata itu. Terlebih, Sunata merupakan salah satu narapidana terorisme yang mengikuti program deradikalisasi inisiatif dari pihak kepolisian berikut pensiunan anggota Polri yang peduli. ”Itu dipertanyakan, apalagi Sunata sendiri dikenal cukup kooperatif dengan polisi selama ini. Apakah karena dinilai berkelakuan baik itu lantas diberi pembebasan? Atau apakah ia membohongi polisi selama ini atau bagaimana? ujar Huda, Minggu (16/5). Mengutip keterangan dalam situs Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, pembebasan bersyarat merupakan proses pembinaan narapidana di luar lembaga pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidananya, minimal sembilan bulan. Hal itu diatur dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Merujuk aturan itu, Sunata juga belum memenuhi syarat. Dalam wawancara dengan Kompas, Maret 2010, Yudi Zulfahri, tersangka pelatihan militer di Aceh Besar, mengatakan, Sunata pada Mei 2009 datang ke Aceh bersama Maulana (tewas dalam penyergapan di Cililitan). Menurut Yudi, Sunata ikut menyurvei lokasi untuk pendirian kamp pelatihan militer. Ketika itu mereka survei ke Payabakung, Aceh Utara. Namun, lokasi itu tak disetujui oleh Sunata karena kurang tersembunyi.

Tidak mudah

Kembalinya Sunata terlibat dalam aktivitas jaringan teroris, menurut Huda, menjadi pelajaran penting bahwa deradikalisasi bukanlah hal yang mudah. Terlebih, cara deradikalisasi yang dilakukan aparat kepolisian cenderung memanjakan dengan uang atau kebutuhan ekonomi keluarga narapidana terorisme. ”Lagi pula, meskipun niatnya baik, deradikalisasi memang bukan tugas polisi. Apalagi di satu pihak polisi menembaki rekan mereka, di satu pihak membantu,” kata Huda. Telah banyak diketahui, para narapidana atau bekas narapidana terorisme kerap meminta bantuan uang kepada polisi untuk berbagai kebutuhan ekonomi. Mulai dari kebutuhan sekolah anak hingga pengobatan untuk keluarga mereka. Sunata, misalnya, kerap mendapatkan bantuan serupa. Bahkan, setelah bebas dari penjara, Sunata pernah berbisnis vaucer pulsa telepon seluler. Sunata juga memiliki mobil Suzuki APV untuk beraktivitas sehari-hari. Huda bahkan menilai deradikalisasi cenderung kurang realistis karena memupus ideologi merupakan target yang amat sulit. Huda sendiri sejauh ini lebih menggunakan cara yang disebutnya sebagai disengagement atau menjauhkan para bekas narapidana dari berbagai kemungkinan mereka untuk kembali lagi dalam aktivitas terorisme. Salah satu cara yang digunakan adalah menyibukkan mereka dengan kegiatan positif yang memberikan manfaat ekonomi berkelanjutan bagi kehidupan keluarganya. Namun, yayasan yang dipimpin Huda tidak sekadar memberikan ”cek kosong” atau uang modal begitu saja kepada mereka. ”Beri mereka harapan. Meski begitu, saya tidak berkesimpulan bahwa ini adalah solusi yang terbaik, tetapi setidaknya bagian dari proses,” kata Huda.

Polisi kini kembali memburu Sunata karena dianggap berperan cukup penting dalam mendirikan kamp pelatihan militer di Jalin, Jantho, Aceh Besar. Sunata dianggap berperan dalam perekrutan anggota baru. Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri sebelumnya memastikan, polisi akan terus memburu semua pihak yang diduga terlibat dalam gerakan terorisme. Operasi yang dilancarkan selama ini merupakan operasi yang terus-menerus, baik tertutup maupun terbuka (seperti penyergapan). Kapolri mengatakan, anggota jaringan teroris cenderung merekrut anggota baru yang masih muda dan militan. Selain itu, mereka belajar dari pengalaman sehingga kemampuan mereka terasah, termasuk kemampuan untuk menghindar dari deteksi pengintaian kepolisian. Selain itu, polisi mendeteksi, model serangan teror belakangan ini cenderung mengarah pada serangan bersenjata, tidak melulu berupa pengeboman. (SF)

Sumber: Kompas

Comments :

0 komentar to “Pembebasan Sunata Dianggap Ganjil”

Post a Comment