Rencana perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme yang diajukan pemerintah justru harus lebih mengakomodasi persoalan hak asasi manusia dalam pemberantasan terorisme. Kewaspadaan dalam mengantisipasi dan mengatasi tindak terorisme tidak dapat dijadikan alasan pelanggaran HAM terhadap terduga pelaku teror. Hal itu diungkapkan anggota Komisi I DPR Lukman Hakim Saifudin (Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Jawa Tengah VI) dan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Yosep Adi Prasetyo secara terpisah di Jakarta, Sabtu (15/5). Rencana perubahan UU Pemberantasan Terorisme itu disampaikan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto serta Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri. Menurut Kapolri, waktu penahanan empat bulan dan waktu untuk menemukan bukti permulaan selama tujuh hari terlalu singkat. Polisi pun kesulitan dalam mengungkap kasus terorisme (Kompas, 15/5). Menurut Lukman, waktu penahanan dan pengumpulan bukti permulaan yang dimiliki Polri sudah lebih dari cukup. Hal itu disebabkan prinsip dasar dalam HAM adalah seseorang tidak boleh ditahan kalau tidak ada alasan sangat kuat untuk melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau melakukan hal yang sama. ”Keluhan itu sebenarnya tidak perlu terjadi jika deteksi dini intelijen Polri terhadap pelaku terorisme dilakukan dengan baik. Dengan demikian, tindakan yang dilakukan Polri tidak reaktif setelah terjadi aksi saja,” katanya. Hal senada diungkapkan Yosep. Tanpa data intelijen yang kuat, aparat dapat melakukan salah penangkapan. Kekuatan intelijen Indonesia saat ini berserakan di berbagai lembaga penegak hukum dan belum terkoordinasi. Badan Intelijen Negara seharusnya dikelola sebagai badan yang mengoordinasikan seluruh data intelijen. Data intelijen yang ada pun seharusnya digunakan untuk pencegahan tindak teror, bukan penangkapan terduga pelaku teror karena itu wewenang aparat penegak hukum.
Pejabat negara
Lukman menambahkan, soal rencana para pelaku teror yang ingin menyerang pejabat negara pada upacara kemerdekaan 17 Agustus di Istana Negara maupun serangan di hotel-hotel seharusnya tidak diungkapkan kepada publik karena lebih banyak dampak buruknya daripada sisi manfaatnya. Data itu sebaiknya cukup diungkapkan di kalangan terbatas, yaitu di kalangan intelijen dan aparat keamanan. ”Jika ungkapan polisi itu tak terbukti, hanya akan menimbulkan kerisauan dan ketakutan masyarakat yang imbasnya bisa memengaruhi kondisi ekonomi. Selain itu, tidak terbuktinya pernyataan polisi itu bisa menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat keamanan,” ujarnya. Karena itu, tidak dapat dipersalahkan jika di publik berkembang bahwa wacana itu hanya untuk mengalihkan isu dari persoalan-persoalan bangsa lainnya. Kondisi itu juga berkaca dari tidak terbuktinya pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Juli tahun lalu, setelah serangan bom terhadap Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz-Carlton yang diduga ada rencana pembunuhan terhadap Presiden dan upaya penggagalan hasil Pemilu Presiden 2009.
Apalagi penangkapan sejumlah teroris di Cawang (Jakarta Timur), Cikampek (Jawa Barat), serta Sukoharjo dan Solo (Jawa Tengah) terjadi saat gencarnya pemberitaan tentang mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji. Menurut peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Ikrar Nusa Bhakti, waktu yang kebetulan dan rencana teroris itu menimbulkan pertanyaan. ”Kenapa bisa bertepatan dengan saat Susno membuka mafia hukum di kepolisian? Apakah ini kebetulan atau memang ada political engineering? Saya lihat ini justru rekayasa politik,” kata Ikrar di Jakarta, Sabtu. Perihal keterangan Kapolri itu, Ikrar menyatakan, jarang sekali aksi teror di dalam negeri ini bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan. Teror untuk mengacaukan situasi politik. Ikrar malah menduga, keterangan Kapolri tentang adanya persiapan teror pada upacara peringatan 17 Agustus di Istana Negara nanti sebenarnya merupakan lanjutan dari teori Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setelah kasus bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton. Penjelasan adanya rencana serangan teroris pada 17 Agustus mendatang, lanjut Ikrar, justru dapat menimbulkan guncangan politik besar. Pasalnya, ada kesan pejabat pemerintah dalam bahaya. (MZW/IDR)
Sumber: Kompas
Comments :
Post a Comment