
Kebanyakan masyarakat, ia menjelaskan, masih menganggap obat sebagai produk yang hanya digunakan dalam keadaan darurat sehingga kehalalan materi dan proses pembuatannya tidak dianggap sebagai masalah. "Padahal seharusnya tidak demikian. Obat untuk penyakit mematikan bisa diperlakukan demikian dengan alasan darurat tapi untuk penyakit lain yang sebenarnya bisa diobati dengan obat yang berbahan dan proses halal kan tidak," katanya. Menurut Ketua MUI Amidhan, hukum mengonsumsi obat dan vaksin sebenarnya sama dengan hukum mengonsumsi produk pangan yakni harus yang halal. Ia antara lain mendasarkan itu pada Hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Darda yang berbunyi: "Allah telah menurunkan penyakit dan obat serta menjadikan obat bagi setiap penyakit; maka berobatlah dan janganlah berobat dengan benda yang haram." "Tapi kesadaran konsumen muslim untuk mengonsumsi produk halal, termasuk obat dan vaksin, masih rendah," katanya. Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Sri Indrawaty mengatakan pemerintah berusaha memenuhi hak masyarakat atas pelayanan kesehatan tanpa membedakan ras, golongan, agama, jenis kelamin dan kelas sosial. Namun, ia melanjutkan, pemerintah juga memperhatikan karakter penduduk yang mayoritas muslim dan kebutuhan mereka akan produk obat yang halal. "Ada aturan tentang pendaftaran produk di Badan POM. Waktu pendaftaran untuk mendapat ijin edar, kandungannya diperiksa dan kalau ada kandungan bahan yang tidak halal atau prosesnya bersinggungan dengan materi tidak halal keterangan mengenai itu harus dicantumkan pada kemasan," katanya.
Comments :
Post a Comment