Download

google_language = ‘en’

KEKERINGAN DI NTT; Jangan Tunggu Korban Berjatuhan

Oleh Samuel Oktora dan Kornelis Kewa Ama

Tanaman jagung sudah mengering. Padi pun tak lagi berbulir. Kekeringan di Nusa Tenggara Timur telah menyebabkan ratusan ribu keluarga petani amat menderita, bahkan membuat anak-anak mereka ”kering kerontang”. Fanis Nggadhu Mbolu (3), bocah yang tinggal di kampung terpencil di Desa Wunga, Kecamatan Hahar, Kabupaten Sumba Timur, bobotnya tinggal 8 kilogram dari seharusnya belasan kg. Begitu juga Alo Nggaba (4) hanya 9,5 kg dan Aldianus Manuyayu (5) yang tinggal 11 kg. Bocah-bocah ini adalah tiga di antara 20 anak yang dibina Posyandu Cendana karena menderita gizi buruk. ”Jika tidak diintervensi segera, selama musim kemarau delapan-sembilan bulan ke depan kondisi gizi buruk semakin meluas,” kata Keba Penang, kader Posyandu Cendana di Waingapu, pekan lalu. Menurut Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Esthon Foenay, sebenarnya hampir semua kabupaten mengalami kekeringan. Namun, yang melapor ke Badan Penanggulangan Bencana Provinsi baru tiga, yakni Sumba Timur, Timor Tengah Selatan (TTS), dan Timor Tengah Utara (TTU). Tercatat ada 33 kecamatan yang terancam rawan pangan. Penduduk yang terkena dampak 49.768 keluarga atau 248.840 jiwa (Sumba Timur 172.000, TTS 52.875, dan TTU 23.965).

Pemantauan Kompas di sejumlah tempat menunjukkan, fakta yang sesungguhnya terjadi justru lebih banyak lagi wilayah yang kekeringan. Pulau Flores, misalnya, kekeringan terjadi di Kabupaten Nagekeo, Ende, Sikka, dan Flores Timur. Woli Lena, Kepala Dinas Pertanian, Peternakan, dan Perkebunan Nagekeo, mencatat, tanaman jagung yang gagal panen di daerahnya mencapai 1.416 hektar (ha), padi gogo 84,65 ha, padi sawah 78,28 ha, kacang hijau 36,5 ha, pisang 1.014 pohon, kelapa 232 pohon, dan kayu-kayuan 386 pohon. Kerusakan ladang juga terjadi di Kabupaten Ende. Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian Ende mendata, kerusakan ladang petani terjadi di 16 desa di tujuh kecamatan, yakni Nangapanda, Lio Timur, Ndori, Maukaro, Detusoko, Ende, dan Pulau Ende. Lahan pertanian yang rusak seluas 394,95 ha. Sekitar 5.000 jiwa keluarga petani terkena dampaknya, dengan total kerugian material mencapai Rp 5,4 miliar. Kekeringan di Flores Timur, menurut Wakil Bupati Yoseph Laga Doni Herin, terjadi di sembilan dari 19 kecamatan. Adapun di Manggarai Timur, berdasarkan keterangan Kepala Dinas Pertanian Perkebunan dan Peternakan Ignasius Tora, kekeringan melanda enam kecamatan.

Petani tak berdaya

Petani tak berdaya menghadapi bencana ini. Panen paksa pun dilakukan meski hasilnya sangat mengiris hati. Dari lahan sekitar satu hektar, misalnya, Mustafa Jando (59) dan Siti Hawa Mena (45) hanya mendapatkan padi sekitar 3 kg. Padahal, ladang itu diandalkan untuk menopang kebutuhan pangan keluarganya dalam setahun. Cuaca tahun ini tak bersahabat. Saat hujan turun, November 2009, petani beramai-ramai menanam secara adat. Di luar dugaan, cuaca tiba-tiba panas terik. Siti yang sekolah hanya sampai kelas III SD itu hanya bisa pasrah kepada Tuhan. Harga beras di kawasan Ndori kini melejit hingga Rp 8.000 per kg, dari sebelumnya sekitar Rp 6.000 per kg. Kriminalitas pun mulai meningkat di perkampungan karena urusan perut sudah tidak bisa ditahan lagi. Pencurian hasil kebun merebak di sejumlah tempat. Padahal, kampung itu sebelumnya boleh dibilang aman dan tenteram. Pemerintah Provinsi NTT telah mengambil langkah darurat untuk mengantisipasi rawan pangan akibat kekeringan. Tiap kabupaten dikirim 100 ton beras, di luar beras untuk rakyat miskin (raskin). Pemerintah juga menyiagakan dana tanggap darurat, yaitu dana ancaman bencana sebesar Rp 11 miliar dan dana untuk mengatasi gizi buruk senilai Rp 1 miliar. Gubernur NTT Frans Lebu Raya sudah menginstruksikan para bupati agar memanfaatkan sebaik mungkin beras cadangan pemerintah (100 ton) tersebut untuk mengatasi ancaman rawan pangan. Para bupati juga diminta mempercepat distribusi raskin serta mempercepat proyek fisik guna membuka lapangan kerja bagi warga sekitar.

Ironisnya, dalam kondisi sulit itu masih ada juga pihak yang mencari keuntungan. Kepala Desa Pondu, Kecamatan Knatang, Sumba Timur, berinisial UHR (46), misalnya, kedapatan menjual beras raskin sebanyak 3,4 ton kepada pedagang dengan harga Rp 4.000 per kg. Selain penanganan jangka pendek, penanganan jangka panjang pun harus dirancang secara komprehensif. Langkah yang ditempuh Sri Wahyuni, pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Flores, patut diapresiasi. Ia mendorong pemberdayaan petani dengan fokus penerapan sistem integrasi pertanian. ”Sangat berisiko kalau masyarakat hanya didorong pada budidaya tanaman pangan dan hortikultura atau tanaman musiman,” tuturnya. Warga yang memiliki ternak besar, seperti kerbau dan sapi, juga perlu dikenalkan pada pakan jenis huy, hijauan yang dikeringkan untuk mengantisipasi situasi kemarau. Petani juga perlu diimbau menghindari pupuk anorganik karena akan menjadi racun saat keadaan kering atau kurang air. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Flores Imakulata Fatima Pampe menyarankan kepada pemerintah untuk memotivasi petani agar bekerja lebih keras, kreatif, dan inovatif. Selain itu, masyarakat juga perlu didorong menerapkan pola hidup hemat, termasuk dalam hal konsumsi makanan. Sistem lumbung pangan masyarakat yang telah hilang pun harus dihidupkan kembali. ”Kebiasaan masyarakat NTT itu makan banyak. Ibaratnya, kalau perlu, nasi satu dandang pun dihabiskan,” kata Imakulata. Pemerintah kini punya tanggung jawab besar menyelamatkan petani yang selama ini selalu terpinggirkan dalam kebijakan pembangunan di negara yang, katanya, agraris ini. Mumpung belum terlambat. (SUT)

Sumber: Kompas

Comments :

0 komentar to “KEKERINGAN DI NTT; Jangan Tunggu Korban Berjatuhan”

Post a Comment