Arimbi Heroepoetri, Komisioner, Ketua Subkom Pemantauan Komnas Perempuan, menambahkan, UU Pornografi tidak akan menyelesaikan masalah video porno. "Area pornografi seharusnya area hukum pidana (kriminal). Jangan mencampuradukkan norma hukum dan moral dalam menganalisis kasus pornografi," katanya. Menurut Arimbi, UU Pornografi sudah cacat sejak awal. Alih-alih mengurusi pornografi, tetapi justru mengurusi moral, cara berpakaian, dan lainnya. Padahal, UU yang gagal lolos dalam judicial review ini seharusnya fokus kepada kenapa ketelanjangan situs terus terjadi, kenapa video porno mudah diakses. Dari sini semakin kentara bahwa UU Pornografi tidak bisa menggempur pornografi yang penuh eksploitasi dan kekerasan, tegas Arimbi. Menurut Komnas Perempuan, dalam paparannya, perlu ada kesepakatan sebagai bangsa untuk tidak melakukan pembiaran atas percampuran moral dan agama dalam UU Pornografi. Jika tidak ingin terus disibukkan dengan kasus video porno semacam ini. Hal lain yang juga penting dan dikritik dari UU Pornografi adalah mengukuhkan diskriminasi terhadap perempuan. Karena menggunakan kerangka moralitas, perempuan yang hampir selalu dijadikan simbol moralitas masyarakatnya, lantas akan menjadi target utama pelaksanaan peraturan tersebut. UU Pornografi juga berpotensi melahirkan kelompok masyarakat "penjunjung moral" yang tidak menyelesaikan persoalan pornografi, tetapi justru menimbulkan polemik, bahkan kekerasan atas nama partisipasi masyarakat. Definisi pornografi yang juga multitafsir akhirnya membuat penerapan UU Pornografi berpotensi menghilangkan hak warga negara atas kesamaan di hadapan hukum dan atas kepastian hukum yang adil. Arimbi menjelaskan, mengatasi persoalan pornografi bukan masalah mudah. Review legislatif memang dipilih sebagai salah satu caranya. Namun, perlu dibuka dialog dengan DPR dan membentuk desk khusus untuk membahas masalah yang lebih komprehensif, bukan sekadar kasus video porno.
Sumber: Kompas.com
Comments :
Post a Comment