Download

google_language = ‘en’

Di Balik Kemakmuran Kazakstan

DI NEGARA seperti Kazakstan, benarkah demokrasi masih dibutuhkan? Satu dekade silam, negeri pecahan Uni Soviet itu telah melunasi semua utangnya kepada Badan Moneter Internasional (IMF). Rasio total utang luar negeri pemerintah pada pendapatan domestik bruto (PDB) juga terus menurun. PDB negeri kaya minyak yang merdeka pada 16 Desember 1991 itu justru terus meningkat. Mulai 2010 ini, negeri di kawasan Asia Tengah yang jauh dari lautan tersebut juga tercatat sebagai pengekspor uranium terbesar. Semua prestasi itu diraih di bawah capaian Nurlsultan Nazarbayev yang memimpin Kazakstan sejak lepas dari cengkeraman Uni Soviet. Tak heran kalau kemudian ulang tahun ke-70 Nazarbayev pada 6 Juli lalu dirayakan dengan penuh gempita. Nazarbayev dikado Khan Shatyr, tenda setinggi 150 meter -tertinggi di dunia-, yang di dalamnya berisi berbagai fasilitas tak ubahnya sebuah kota. Nazarbayev bahkan menyebutnya sebagai kota indoor pertama di dunia. Pesta jalanan pun digelar di semua sudut negeri berpenduduk 16,2 juta jiwa tersebut. Tapi, toh masih ada orang seperti Dosym Satpayev yang seakan mengingatkan siapa saja bahwa Kazakstan di bawah Nazarbayev bukanlah artikel yang selesai. Akademisi itu dengan lantang mengkritik pengangkatan Nazarbayev -yang tiga tahun sebelumnya dipersilakan parlemen untuk memimpin Kazakstan tanpa batas waktu- sebagai Elbashy alias pemimpin bangsa. Dengan status Elbashy itu, Nazarbayev dijamin tak tersentuh hukum, bahkan ketika kelak sudah tidak menjabat. Status tersebut sekaligus juga menjamin hak Nazarbayev untuk tetap ikut cawe-cawe dalam urusan negara tatkala sudah lengser kelak. Satpayev menyebut ''pengultusan'' itu sebagai pengkhianatan terhadap demokrasi. Dia benar, tapi siapa di Kazakstan yang mau mendengar? Seperti juga siapa di Singapura yang mau peduli bahwa negeri itu bisa memenjarakan seseorang tanpa proses pengadilan melalui perangkat legal bernama Akta Keamanan Dalam Negeri alias ISA?

Kazakstan dan Singapura, adakah negeri-negeri seperti itu merupakan pengecualian sejarah? Setia kepada jalan kapitalisme dan makmur, meski mengentuti demokrasi. Mungkin iya, mungkin juga tidak. Singapura memang tetap adem-ayem sejauh ini. Tapi, siapa bisa menjamin kondisi itu akan bertahan saat sang bapak bangsa, Lee Kuan Yew, menutup mata kelak? Lihat saja Malaysia. Negeri jiran Singapura itu juga tak kalah makmur. Tapi, kelas menengah mereka -mahasiswa dan akademisi, profesional muda, serta pebisnis- merasa kemakmuran yang tak dibarengi dengan kebebasan tak ubahnya hidup di rumah kaca. Karena itu, mereka pun berteriak, turun ke jalan, dan berdiri di belakang orang-orang yang berani bersuara beda kepada yang berkuasa seperti Anwar Ibrahim. Pelototan ISA pun mereka siasati dengan bergerak di dunia maya. Blogger Raja Petra Kamarudin yang pernah dipenjara karena ketajaman kritiknya kepada pemerintah merupakan salah satu contoh kegelisahan kelas menengah Malaysia yang tak bisa dininabobokan dengan kesuksesan ekonomi. Kazakstan mungkin memang masih seperti Singapura saat ini. Tapi, Nazarbayev tak mungkin hidup terus. Karena itu, sebuah sistem yang menjamin distribusi kekuasaan secara adil dan diakuinya hak untuk bersuara beda sangat dibutuhkan. (*)

Sumber: Jawapos, Sabtu, 10 Juli 2010

Comments :

0 komentar to “Di Balik Kemakmuran Kazakstan”

Post a Comment