Kasus-kasus opini dalam bentuk gambar yang kemudian oleh pihak yang berkeberatan lantas dibawa ke pengadilan sudah sangat sering terjadi di Indonesia. Dan buat Tempo, ini juga bukan hal baru. Yang menarik, ternyata pihak yang tersinggung selalu menerjemahkan gambar karikatural yang memang imajinatif itu dengan tafsir sendiri seolah-olah persepsi merekalah yang paling benar. Padahal, kembali pada klasifikasi cover Tempo itu, ia adalah gambar opini. Di sebuah masyarakat yang telah tegak betul tatanan hukumnya, gambar-gambar opini tak pernah direaksi sedramatis di sini. Kalau gambar itu dimunculkan dalam sebuah media, pihak yang marah paling banter hanya akan menyebut majalah atau koran yang memuatnya sebagai media murahan. Tidak bermutu dan tidak tahu etika. Atau, mengumpat seniman yang membuatnya sebagai seniman gendeng. Karena kebebasan beropini dijamin undang-undang, pembuat gambar opini atau orang yang menulis opini tak bisa dipidanakan. Orang yang tak setuju dengan sebuah opini dalam bentuk tulisan tentu punya hak untuk menyangkalnya, juga dengan tulisan opini.
Opini dalam format tulisan memang lebih gampang bagi pihak yang berkeberatan untuk menyangkalnya. Cukup dengan membuat tulisan opini untuk menyampaikan keberatannya. Tapi, opini dalam bentuk gambar, sangat tidak mudah. Pihak yang berkeberatan atas muatan kritik gambar karikatur tak bisa menyampaikan keberatannya juga dalam bentuk gambar. Terhadap situasi ini, Dewan Pers punya peran penting untuk memberikan pemahaman dan pencerahan, terutama kepada Polri yang berencana membawa kasus karikatur Rekening Gendut itu ke pengadilan. Pertanyaannya, betulkah Polri tersinggung karena visualisasi dalam gambar karikatural itu? Jangan-jangan, itu hanya gertakan buat pers karena isi liputannya yang mengorek rekening sejumlah petinggi kepolisian.
Sumber: Jawapos,02-07-2010
Comments :
Post a Comment