Download

google_language = ‘en’

Mempersoalkan Karikatur sebagai Produk Jurnalistik

SUDAH sanggupkah kita untuk hidup dengan kebebasan beropini? Kebebasan beropini akan menjadi sebuah cita-cita tinggi bagi masyarakat dengan peradaban rendah. Beropini adalah berpendapat. Berpendapat adalah hak asasi. Hak asasi itu dijamin undang-undang. Opini, dalam jurnalistik, bisa muncul dalam dua bentuk. Pertama tulisan, kedua gambar. Gambar yang beropini biasa disebut karikatur. Karikatur juga lazim disebut kartun opini. Dalam format tertentu, sebuah gambar karikatur tidak betul-betul muncul dalam bentuk kartun yang memberi tekanan pada gambar coret yang lucu. Tapi, juga dalam bentuk aliran lukisan lain yang begitu banyak jenisnya. Karena ingin tetap menyampaikan pendapat tertentu dalam gambarnya, ia bisa disebut sebagai gambar karikatural. Agak rumit mendefinisikan opini dalam bentuk gambar sekaligus sebagai produk seni. Sebab, sebagai produk kesenian, termasuk seni apa pun, yang diinginkan dari olah karya itu adalah sebuah imajinasi para penikmatnya. Sementara itu, imajinasi adalah sebuah ruang yang betul-betul bebas untuk diinterpretasikan. Tapi, serumit apa pun, karikatur tetap bisa diklasifikasikan, yaitu sebuah opini. Polri merasa berkeberatan dan tersinggung dengan gambar karikatur dalam sampul majalah berita mingguan Tempo edisi 28 Juni-4 Juli 2010. Yang membuat Polri tersinggung, konon, adalah gambar celengan yang divisualkan dengan gambar babi. ''Kami mendapat laporan dari seluruh Indonesia, institusinya merasa dicemarkan. Anggota dan keluarga kecewa, termasuk saya. Tidak pernah menggiring celengan babi,'' kata Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Zaenuri Lubis (30/6). Karena alasan itulah, Polri akan menggugat Tempo, baik secara perdata maupun pidana.

Kasus-kasus opini dalam bentuk gambar yang kemudian oleh pihak yang berkeberatan lantas dibawa ke pengadilan sudah sangat sering terjadi di Indonesia. Dan buat Tempo, ini juga bukan hal baru. Yang menarik, ternyata pihak yang tersinggung selalu menerjemahkan gambar karikatural yang memang imajinatif itu dengan tafsir sendiri seolah-olah persepsi merekalah yang paling benar. Padahal, kembali pada klasifikasi cover Tempo itu, ia adalah gambar opini. Di sebuah masyarakat yang telah tegak betul tatanan hukumnya, gambar-gambar opini tak pernah direaksi sedramatis di sini. Kalau gambar itu dimunculkan dalam sebuah media, pihak yang marah paling banter hanya akan menyebut majalah atau koran yang memuatnya sebagai media murahan. Tidak bermutu dan tidak tahu etika. Atau, mengumpat seniman yang membuatnya sebagai seniman gendeng. Karena kebebasan beropini dijamin undang-undang, pembuat gambar opini atau orang yang menulis opini tak bisa dipidanakan. Orang yang tak setuju dengan sebuah opini dalam bentuk tulisan tentu punya hak untuk menyangkalnya, juga dengan tulisan opini.

Opini dalam format tulisan memang lebih gampang bagi pihak yang berkeberatan untuk menyangkalnya. Cukup dengan membuat tulisan opini untuk menyampaikan keberatannya. Tapi, opini dalam bentuk gambar, sangat tidak mudah. Pihak yang berkeberatan atas muatan kritik gambar karikatur tak bisa menyampaikan keberatannya juga dalam bentuk gambar. Terhadap situasi ini, Dewan Pers punya peran penting untuk memberikan pemahaman dan pencerahan, terutama kepada Polri yang berencana membawa kasus karikatur Rekening Gendut itu ke pengadilan. Pertanyaannya, betulkah Polri tersinggung karena visualisasi dalam gambar karikatural itu? Jangan-jangan, itu hanya gertakan buat pers karena isi liputannya yang mengorek rekening sejumlah petinggi kepolisian.

Sumber: Jawapos,02-07-2010

Comments :

0 komentar to “Mempersoalkan Karikatur sebagai Produk Jurnalistik”

Post a Comment