Download

google_language = ‘en’

Nafsu Politik Muhammadiyah

”Jangan jadikan Muhammadiyah menjadi tangga untuk meloncat”. Demikian pesan mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif dalam Buku Panduan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah. Rupanya Buya Syafii, panggilan akrab Syafii Maarif, gundah dengan banyaknya kader Muhammadiyah yang terjun ke politik praktis. Ia tidak mau Muhammadiyah dijadikan tangga sebelum meloncat ke politik praktis. Meski terlahir sebagai gerakan sosial-keagamaan, Muhammadiyah tak pernah bisa menghindar dari politik. Pandangan persyarikatan tentang peran politik pun pasang surut. Pada awal berdiri, Muhammadiyah turut mendorong dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan melancarkan politik antikolonialisme. Setelah Indonesia merdeka, tokoh Muhammadiyah terlibat dalam perumusan pembukaan serta batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Muhammadiyah juga turut membidani lahirnya Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) bersama organisasi Islam lain. Masyumi ikut serta dalam pemilu pertama pada 1955 dengan perolehan kursi terbanyak, 57 kursi DPR. Jumlah ini sama dengan Partai Nasional Indonesia. Setelah Masyumi bubar pada 1960, tokoh Muhammadiyah turut membentuk Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Beberapa literasi menyebutkan, Parmusi adalah salah satu ijtihad yang dihasilkan dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Ponorogo, Jawa Timur, pada 1969 yang dikenal dengan Khittah Ponorogo. Persyarikatan memutuskan dakwah amar makruf nahi mungkar (mendorong kebaikan dan mencegah keburukan) melalui jalan kemasyarakatan dan politik kenegaraan. Parmusi tidak bertahan lama dan hanya memperoleh sedikit dukungan dari kalangan Muhammadiyah.

Muhammadiyah lalu memutuskan untuk fokus sebagai gerakan dakwah Islam yang bergerak dalam bidang kemasyarakatan dan kemanusiaan. Muhammadiyah tak memiliki hubungan organisatoris dan tidak berafiliasi dengan partai atau organisasi apa pun. Keputusan itu dirumuskan dalam muktamar ke-38 di Ujung Pandang (sekarang Makassar) pada 1971. Sejak itulah Muhammadiyah secara organisatoris mengambil jarak dengan partai politik. Sikap warga Muhammadiyah kembali berubah pascareformasi karena Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah M Amien Rais mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN). Banyak kader Muhammadiyah yang kembali terlibat dalam politik praktis. Bahkan, pada Pemilu 2004, Muhammadiyah mendorong Amien mencalonkan diri sebagai presiden. Menjelang Pemilu 2009, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dicalonkan sebagai presiden oleh Partai Matahari Bangsa (PMB) yang mengklaim sebagai anak ideologis dan biologis Muhammadiyah. Ia pun disebut-sebut mendorong dan mendukung sejumlah kader muda Muhammadiyah untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dari PMB.

Dorongan agar Muhammadiyah mengambil peran dalam politik muncul lagi dalam muktamar ke-46 di Yogyakarta. Sejumlah kader Muhammadiyah mewacanakan suksesi kepemimpinan bangsa pada 2014. Menurut Abdul Mu’ti, anggota PP Muhammadiyah terpilih periode 2010-2015, sidang tanwir di Lampung pada 2009 merumuskan, salah satu masalah bangsa adalah kepemimpinan. Tanwir melihat tidak adanya pemimpin yang transformatif terhadap masalah bangsa. ”Muhammadiyah harus terlibat secara aktif dalam suksesi kepemimpinan bangsa 2014,” katanya dalam diskusi Suksesi Kepemimpinan 2014 di sela-sela muktamar di Kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Ada kemungkinan Muhammadiyah mengusung kadernya menjadi calon kepala negara. Amien Rais menegaskan, Muhammadiyah tidak memiliki rumus baku dalam berhubungan dengan politik. Dari zaman ke zaman, Muhammadiyah menemukan resep kreatif sendiri. Ketika Orde Baru menerapkan asas tunggal, misalnya, Muhammadiyah harus berhati-hati agar tidak sampai terkena masalah. Namun, ketika kekuasaan Presiden Soeharto sudah lebih dari 30 tahun, Muhammadiyah meneriakkan pentingnya rotasi kekuasaan. ”Selalu ada kecerdasan kolektif yang biasanya akan disuarakan PP Muhammadiyah,” ujarnya. Amien mengingatkan, Muhammadiyah agar tidak hanya puas menjadi penonton dalam menentukan arah bangsa. Muhammadiyah tidak boleh buta dan ingkar politik. Politik adalah sesuatu yang inheren dalam membangun masa depan bangsa dan negara. ”Jadi, selalu ada ketegangan kreatif antara Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan kekuatan politik,” ujarnya.

Politik adiluhung

Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah Said Tuhuleley menilai, yang tepat dilakukan Muhammadiyah ke depan adalah politik tingkat tinggi atau politik adiluhung seperti yang dilakukan Muhammadiyah saat dipimpin Amien Rais pada masa pemerintahan Orde Baru. Artinya, Muhammadiyah tak terlibat dalam politik perebutan kekuasaan, tetapi menjadi mitra korektif konstruktif bagi pemerintah sebagai implementasi gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar. Kekritisan Muhammadiyah penting, mengingat saat ini suara masyarakat tak terwakili sepenuhnya dalam politik formal yang dijalankan partai. Wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif tidak sepenuhnya mencerminkan kehendak rakyat karena banyak di antara mereka yang terpilih dengan mengandalkan uang atau mesin partai. ”Dalam posisi itu, masyarakat butuh saluran untuk menyuarakan aspirasinya. Peran itu dapat diambil ormas sebagai saluran alternatif penyampaian kehendak rakyat,” katanya. Hal itu berarti Muhammadiyah harus tetap menjadi kekuatan masyarakat sipil. Apalagi kepercayaan publik kepada ormas jauh lebih besar dibandingkan kepercayaan terhadap partai. Jika ormas bersatu, kekuatannya akan efektif untuk menyuarakan kepentingan rakyat.

Implementasi simpel dari politik adiluhung itu adalah tidak mundur dari jabatan di Muhammadiyah di tengah masa bakti hanya karena ada tawaran jabatan politik kekuasaan yang lebih menguntungkan. ”Jangan sampai Muhammadiyah hanya menjadi batu loncatan demi kepentingan meraih kekuasaan,” ujar Said. Harus diakui, sesudah reformasi, banyak pimpinan yang membawa Muhammadiyah dalam kegiatan politik praktis. Namun, hal itu dinilai Said sebagai kecenderungan perilaku individual elite, bukan sikap Muhammadiyah secara organisatoris. Namun, sikap individual itu kini menjadi persoalan karena sebagian besar kader terbaik Muhammadiyah lebih tertarik terjun dalam politik praktis daripada mengelola urusan kemanusiaan yang menjadi bidang kerja Muhammadiyah. Kondisi itu tak dapat disalahkan sepenuhnya kepada kader karena itu adalah kondisi umum akibat terbatasnya lapangan pekerjaan. Sebenarnya, ungkap Said, keterlibatan dalam politik praktis akan menguntungkan Muhammadiyah karena lebih mudah memperjuangkan aspirasi dan kepentingan warganya lewat parlemen. Namun, hal itu hanya akan berjalan efektif jika dilakukan Muhammadiyah secara struktural, bukan atas dasar kepentingan individu atau kelompok kader seperti saat ini. Selain itu, banyaknya kader yang masuk dalam politik praktis dan tersebar di berbagai partai justru menimbulkan persoalan baru bagi Muhammadiyah. Mereka sering membawa masalah dalam politik praktis dalam Muhammadiyah. Akibatnya, Muhammadiyah yang sejatinya berdiri di atas semua partai justru ditarik-tarik demi kepentingan politik partai tertentu. Kini mulai muncul kesadaran di sebagian kader Muhammadiyah, kerja kemanusiaan tidak kalah pentingnya dengan politik praktis. Walaupun kerja kemanusiaan itu tidak mampu memberikan imbal keuntungan yang besar. (MZW/NTA/ARA)

Sumber: Kompas, Rabu, 7 Juli 2010 | 02:48 WIB

Comments :

0 komentar to “Nafsu Politik Muhammadiyah”

Post a Comment