Penguatan yuan menyebabkan produk negara berpenduduk terbesar di dunia itu lebih mahal daripada produk nasional. Sedangkan dari sisi finansial, fleksibilitas yuan akan mendorong arus dana asing mengalir deras ke negara berkembang seperti Indonesia. Karena itu, kita harus pandai menangkap peluang tersebut. Caranya, antara lain, menciptakan proses produksi yang lebih efektif dan efisien. Selain itu, dunia usaha perlu menyesuaikan struktur biaya produksi agar bisa lebih bersaing. Jangan sampai peluang yang ada lewat begitu saja dan direbut kompetitor seperti Vietnam yang proses produksinya kini kian efisien. Sebab, bisa jadi, apresiasi yuan terhadap dolar atau mata uang kuat lain hanya berlangsung selama beberapa bulan ke depan. Pemerintah Tiongkok tentu tak akan membiarkan kurs yuan menguat terlalu tinggi sehingga merugikan kinerja ekspor negerinya sendiri. Tentu mereka akan menjaga fluktuasi yuan dalam rentang yang masih menguntungkan. Di samping itu, tak sedikit yang meragukan bahwa Tiongkok melepas kurs yuan dengan sepenuh hati. Kebijakan tersebut dinilai hanya untuk meredakan ketegangan dengan negara-negara maju sebelum pertemuan G-20 yang dilangsungkan pada 26-27 Juni di Toronto, Kanada. Kendati begitu, tak ada salahnya kita semua melakukan pembenahan secara gradual senyampang ada momentum yang pas. Toh, dunia usaha tak akan rugi bila melakukan pembenahan, meski Tiongkok tak sepenuhnya merevaluasi nilai tukar yuan. Tanpa penguatan nilai tukar yuan pun, meningkatnya efisiensi di sektor industri bakal menguntungkan dan memacu daya saing di pasar internasional. Dampak selanjutnya, pertumbuhan ekonomi nasional bisa terjaga dan terpelihara. (*)
Sumber: Jawapos
Comments :
Post a Comment