Download

google_language = ‘en’

Setelah Razia Ponsel, lalu Apa?

Sejak awal bulan ini, pemberitaan tentang video porno dengan pemeran mirip artis menghiasi pemberitaan berbagai media. Selain tentang perkembangan upaya aparat mengungkap pelanggaran hukum kasus tersebut, pemberitaan media juga kerap diisi dengan aktivitas pemeriksaan atau razia terhadap telepon seluler (ponsel) milik murid sekolah. Karena melibatkan artis yang menjadi idola masyarakat khususnya anak muda, isi video porno menimbulkan rasa penasaran pada beragam kalangan terutama para pelajar. Kondisi ini memicu kekhawatiran di kalangan orang tua dan para guru di sekolah-sekolah. Para pelajar diduga mengunduh film tersebut dari internet dan menyimpan ke dalam telepon seluler. Akibatnya, para guru di berbagai sekolah merazia telepon seluler para siswa. Mengingat besarnya daya rusak pornografi, khususnya terhadap generasi muda, razia ponsel secara intensif di sekolah merupakan respons yang masuk akal. Namun, yang harus disadari oleh para petugas razia -guru, orang tua, dan aparat intansi pendidikan nasional (diknas)- adalah bahwa upaya itu hanyalah langkah awal dari upaya-upaya lain yang justru lebih mendasar. Jika hanya sebatas razia dengan mengobok-obok isi ponsel yang sejatinya adalah barang milik pribadi yang tidak patut dilihat oleh orang lain yang bukan pemiliknya, upaya itu akan sia-sia. Ibaratnya, memadamkan api tanpa menemukan titik apinya ataupun menghilangkan gunung es di laut tanpa menemukan dasarnya.

Dampak lebih jauh dari aktivitas intens razia ponsel adalah penurunan citra guru di mata siswa. Dari dipatuhi sebagai pendidik, menjadi ditakuti kerena sebagai penghukum. Di mata siswa, para guru seolah selalu mencurigai mereka sebagai penjahat. Dalam hal ini dicurigai menyimpan kopi video porno. Dampaknya lebih parah jika razia itu dilaksanakan di tengah-tengah proses belajar-mengajar di kelas. Razia tersebut pasti mengganggu kenyamanan belajar bahkan bisa membuat trauma murid sehingga melanggar hak pendidikan dan privasi anak didik. Mengingat potensi dampak negatif yang ditimbulkan, selain razia, pemerintah, kalangan pendidik seperti guru, dan orang tua sebaiknya mengedepankan metode yang dapat menanggulangi permasalahan sejak akarnya, yakni komunikasi atau dialog dengan anak soal dampak buruk pornografi. Yang tidak kalah penting di era informasi yang semakin mudah diakses ini adalah pendidikan kepada siswa tentang berinternet yang "sehat".

Gencarnya arus pornografi di internet membuat upaya memerangi pornografi kini bukan hanya tugas guru agama dan guru pendidikan moral. Upaya penting itu harus dilakukan oleh guru semua bidang pelajaran ketika mengajar di dalam kelas. Contohnya, guru sejarah bisa mengajak para siswa belajar sejarah dengan mengunduh film-film pendidikan sejarah dari National Geographic Channel, Discovery Channel, maupun History Channel. Para guru fisika dan biologi juga dapat menganjurkan siswanya untuk belajar melalui film-film yang diproduksi channel BBC Knowledge Akan lebih baik lagi hasilnya jika para guru tersebut menjadikan film-film semacam itu sebagai bahan pembuatan esai tugas sekolah maupun bahan diskusi di dalam kelas. Di sela-sela pelajaran dalam kelas, para guru juga bisa menanamkan suatu nilai bahwa mengakses situs porno maupun mengunduh film porno melalui internet adalah suatu perbuatan sia-sia yang membuang-buang waktu, biaya, dan memakan kapasitas kartu memori maupun hard disk komputer, notebook, dan ponsel para siswa. Upaya semacam itu memang memerlukan kebersamaan dan waktu yang panjang dan bisa jadi "tidak menarik" karena sepi dari liputan media. Namun, jika kita memang betul-betul serius membentengi anak-anak dan murid-murid kita dari pornografi, upaya tersebut menjadi keharusan setelah melakukan razia. (*)

Sumber: Jawapos

Comments :

0 komentar to “Setelah Razia Ponsel, lalu Apa?”

Post a Comment